Site icon Confession of a Watching Freak

Asumsi | Distrik: Banyak Taktik di Cawang – Cililitan

Judul Video : Distrik: Banyak Taktik di Cawang – Cililitan

Channel : Asumsi

Pembawa Acara : Dea Anugrah

Narasumber : Jenda Munthe, Rajesh Siburian, Michael Damanik, Chrisvandoli Harahap, Opung Simanjuntak

Pada tanggal 8 Juli yg lalu, Channel Asumsi mengupload video Distrik yg membahas kehidupan orang-orang Batak di daerah Cawang-Cililitan. Kali ini, Dea Anugrah selaku host dari Asumsi mewawancarai narasumber yg cukup banyak sampai berjumlah 5 orang untuk mendapatkan hasil berupa sudut pandang yg berbeda-beda. Narasumber-narasumber tersebut pun berasal dari latar belakang yg berbeda pula, mulai dari influencer sampai warga biasa. Tidak disangka-sangka, ternyata narasumber pertama adalah seorang wartawan & juga influencer yg memiliki 700 ribu follower di sosial media, Instagram yaitu, Jenda Munthe.

Jenda yg telah merantau dari Medan ke ibukota sedari kecil ini memiliki seorang ibu yg keras, seperti stereotip mamak-mamak batak yg pernah kita jumpai di film. Pada awalnya, ibunya ini bekerja dengan berjualan di Terminal Rawamangun yg seiring berjalannya waktu, pindah ke Terminal Cililitan. Dari kecil, Jendha sudah dibesarkan sebagai anak rumahan. Walau dirinya dulu masih bocah, Jendha tetap iseng keluar dan nongkrong dengan teman-temannya. Ibunya pun tidak mau kalah, kadang kali Ia menghampiri anaknya ke tongkrongan hanya utk sekedar menyuruh dirinya pulang.

Jendha Munthe (*paling kanan mengenakan jaket pink) bersama influencer lainnya, (dari kanan ke kiri) Baim Wong, Aurelie Moeremans & Imam Darto di salah satu konten OCBC NISP
(Sumber: Youtube)

Beranjak dewasa seperti sekarang, Jendha berpendapat sebagai orang batak bahwa, senakal-nakal nya orang, seliar-liarnya, hari Minggu pagi mesti diharuskan utk beribadah di gereja. ” Kau Hari Sabtu mau nongkrong di Senopati, mau ‘izinkan aku…’ , Hari Minggu pagi kau gereja “ , ungkap dirinya seraya mengikuti perintah mamak bapaknya. Tidak hanya itu, Jendha juga menjelaskan bahwa Batak memang memiliki ciri khas nya tersendiri. Walau lagi duduk dlm 1 meja, pasti tetap saja seorang Batak berbicara dengan nada yg keras, pdhl tidak ada maksud kasar sama sekali.

Selanjutnya, Dea berbincang bertiga dengan pemilik Lapo & salah satu pengunjungnya daerah sekitar tempat tersebut, yaitu Pak Rajesh & Pak Michael. Pak Rajesh sudah mendirikan usaha Lapo Tuak Asli Borta Tarutung nya tidak lama setelah Ia menikah di tahun 1994. Tidak seperti di Jakarta, walau sudah terdapat banyak tempat Lapo, di Medan bisa hampir semua yg ada di pinggir jalan merupakan restoran Lapo. Di Medan pula, Pak Rajesh menjelaskan sampai bangsa para ibu pun seperti anak muda, ikut minum Tuak. Bahkan, ibu-ibu tersebut meminum langsung dari teko yg besar, bukan lagi di gelas.

Pak Rajesh Siburian berpose dengan memegang tuak jualannya

Pak Michael juga menambahkan, di setiap seseorang mendengar ada seorang ibu yg melahirkan di Medan sana, kebanyakan orang-orang akan memberi amplop bertuliskan ‘ Kasi Tuak Natongge ‘, yg berarti Tuak yang manis. Berbicara tentang Batak, yg merupakan kepanjangan dari Banyak Taktik, ungkap Pak Rajesh, orang Batak yg lahir di Medan akan memiliki mental yg lebih kuat apabila dibandingkan orang Batak yg lahir di Jakarta. Karena, mental anak di ibukota menurut pandangannya, mental yg melawan orang tua. Sebab itulah, Pak Rajesh & Pak Michael setuju bahwa, di ibukota inilah masih banyak sekali orang-orang yg bodoh kalah dengan orang Batak yg stereotipnya tegas & mandiri.

Kemudian, narasumber ketiga merupakan bapak Pendeta Chrisvandoli Harahap, yg menjadi pendeta di Gereja HKBP Sutoyo. Pada awal perbincangannya dengan Dea, Pak Pendeta menjelaskan sebuah ungkapan yg kurang lebihnya memiliki arti, kemanapun orang Batak pergi, pasti akan membawa Gerejanya. Bahkan di HKBP Singapura sekalipun, terkadang mereka beribadah bisa menggunakan bahasa batak. Selama pengalamannya menjadi seorang pendeta, dirinya belum pernah menangani jemaat yg di mata orang seperti layaknya preman. Menurut dirinya, walau preman sekalipun cukup buas/liar di luar, begitu memasuki gereja anggapannya ya sudah sama derajatnya dengan jemaat yg lainnya.

Pak Pendeta Chrisvandoli (*sebelah kiri mengenakan kemeja batik) saat berbincang dengan Dea Anugrah

Narasumber terakhir di video kali ini adalah, seorang warga asli sana yg sudah cukup lama mendiami daerah Cililitan yaitu, Opung Simanjuntak. Opung dulunya merupakan pengusaha metromini, yg kemudian sudah tidak lagi menjalani pekerjaannya setelah krisis moneter yg terjadi di tahun 1998. Bayangkan saja, setelah memiliki 4 unit metromini yg 1 unit nya dulu seharga Rp11.000.000,00,- , Ia mesti berhenti dari pekerjannya tersebut karena harga 1 ban yg tadinya 125.000 bisa melonjak sampai 600.000, itupun belum kelengkapan lainnya seperti oli, kampas rem, kopling dan lain-lain. Hal ini tentu saja berdampak kepada pengusaha metromini lain selain dirinya.

Lagi-lagi berbicara tentang marga Batak, Opung menuturkan Batak di daerah Cililitan memiliki kesamaan yg begitu banyak dengan daerah Pulomas. Lapangan Banteng juga merupakan tempat yg bersejarah bagi para orang batak. Karena, pada awalnya Lapangan Banteng dulu merupakan tempat kerumunan orang Batak. Kemudian, karena berkerumun tanpa tujuan inilah mereka ditangkap oleh aparat. Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan identitas terhadap mereka, ternyata mereka semua yg berkerumun ini bukanlah gelandangan melainkan lulusan SMA yg menganggur. Maka dari itulah, mereka semua dibawa ke Dishub & bekerja disana. Tidak heran kalau sekarang, banyak sekali atasan-atasan yg bekerja untuk pemerintah adalah orang Batak.

Opung Simanjuntak saat sedang bercerita kepada Dea Anugrah
Exit mobile version